Pemilik Mie Ayam Melati, Bermental Baja
Hidup di Jakarta harus kreatif. Hal ini berkaitan dengan eksistensi. Apalagi bagi masyarakat yang bukan PNS /P3K, politisi dan pengusaha. Jika berdiam diri atau hanya mengandalkan satu pintu untuk mendapatkan penghasilan maka hanya cukup untuk makan semata.
Apalagi seperti sekarang ini semua serba mahal. Di tambah lagi harga tidak dapat diperidiksi. Dengan situasi seperti itu diperlukan kemampuan untuk berkreasi demi mendapatkan penghasilan tambahan. Syukur-syukur dapat dijadikan penghasilan utama. Maka tidak salahnya seseorang berusaha yang penting halal. Apalagi memiliki ketrampilan pada bidang tertentu. Tidak boleh dipendam. Rugi sendiri.
Memulai sesuatu bukan perkara mudah. Perlu perencanaan yang matang. Perlu dipikirkan lokasi, apa yg hendak dikerjakan, dan masyarakat seperti apa yg mau di sasar.
Belum lagi dengan adanya persaingan . Jika bermental kerupuk tidak akan pernah bertahan. Semua itu ada di kepala Toni Gunawan dan Santi. Sebagai suami -istri perencanaan dan lain sebagainya sudah dipikirkan sedemikian rupa.
Perencanaan itu harus matang. Pilihannya adalah berjualan mie ayam.
Berjualan mie ayam bukan perkara mudah. Hampir di setiap gang ada. Khususnya dikomunitas yang banyak Tionghoanya. Intinya buka dulu, jualan dulu. Masalah harga, pelanggan dan konsistensi berjualan itu urusan lain. Itu yang ada di kepala Toni Gunawan. Kurang lebih 7 bulan yang lalu. Suami- istri ini berjualan mie. Mereka buka di Jalan Melati. Tepatnya di jalan Melati Rt 011/01 no. 12 Kelurahan Kramat ,Kecamatan Senen -Jakarta Pusat.
Mie ayam Melati itu nama dagangannya. Ada gerobak dengan peralatan masaknya. Ada beberapa bangku dan sebuah meja. Disampingnya ada minuman serba teh. Jika makan mie langsung memesan minuman di sampingnya. Harga mie ayam Melati selain terjangkau juga enak. Tidak kalah dengan rasa mie di daerah Mangga Besar dan beberapa tempat yang penulis singgahi dan cicipi.
Awal membuka dagangannya memiliki tantangan besar. Toni Gunawan turun langsung sedangkan Santi yang adalah istrinya belajar bagaimana memasak dan mengolah menjadi mie siap saji ke pelanggan. Hari-hari yang dijalani terasa berat. Buka pagi hari sekitar jam sembilan dan ditutup sore hari sekitar jam limaan. Yang datang membeli tidak banyak. Sehari hanya laku tiga mangkuk. Bukan untung tapi buntung. Jika itu dihitung secara matematika.
Apa Santi yang menunggu dangan menyerah? Mentalnya terasah. Ia tidak menyerah. Dibalik gelap pasti ada terang. Apalagi sebagai orang beriman. Keteguhan hati, kesabaran benar-benar diuji. Ujian itu berat. Toni dan Santi rupanya bermental baja.
Hari-hari yang berat itu dapat juga dilalui. Kini sudah ada titik terang. Tidak lagi tiga mangkuk untuk sehari. Sudah lebih dari itu.
Bagi mereka yang bermukim dan bekerja di sekitaran Senen, bolehlah mampir mencicipi mie Ayam Melati. Makan di tempat oke, dibawa pulang pun oke. Santi nama pedagang mie ini. Keramahan dan kecekatannya memasak dan menyajikan sudah mulai terlihat. Ternyata mereka yang menabur dengan air mata sekali waktu akan menuai dengan sorak -sorai. Mereka yang menabur dengan air mata adalah ciri bermental baja. Sudahkah kita bermental baja dalam membuka usaha baru?