Usai Sudah Macah Adat Pati Nyawa Pidara Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage
Lahir pakai adat, hidup beradat mati pun tidak lepas dari adat. Narasi tadi sangat kental di kalangan masyarakat suku bangsa Dayak di seluruh tanah Borneo dan diperantauan.
Jauh sebelum ada lembaga adat seperti Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) dengan turunannya Dewan Adat Dayak(DAD), penerapan adat sudah berlaku sejak manusia Dayak itu ada. Sekalipun ada perbedaan satu wilayah dengan wilayah lainnya dipastikan adat di junjung tinggi. Untuk itu pengurus adat di setiap desa hingga tingkat provinsi pasti dibentuk. Pengurus adat tidak boleh sembarangan orang. Pengurus adat yang sesungguhnya harus ada turunannya alias ada trahnya.
Itu dulu sebelum dilembagakan seperti sekarang ini. Mungkin karena mengikuti arus modern sejak dilembagakan menjadi DAD dan MADN Maka yang bukan dari keturunan pengurus adat pun diperbolehkan menduduki jabatan sebagai pengurus dibidang apa saja.
Mengingat lahir beradat , hidup beradat dan mati beradat maka bagi manusia Dayak, hukum adat harus diberlakukan dalam berbagai sisi kehidupan termasuk untuk mereka yang sudah meninggal. Sebagai contoh apa yang dikenal dengan macah adat pati nyawa berkenaan dengan almarhum (pidara) Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage yang meninggal di tembak oleh Bripda Ifan Muhamad Saifuloh Pelupessy sesama anggota polisi dengan pemilik senjata Bripda Iqbal Gilang, beberapa waktu silam. Macah adat pati nyawa ini dilaksanakan pada hari senin tanggal 29 Januari 2024 bertempat di Rumah Adat Dayak / Betang Anjungan Kalbar , TMII Jakarta.
Macah adat pati nyawa artinya membuka adat bahwa yang melakukan pembunuhan mengganti nyawa yang sudah dibunuhn ya kepada waris secara adat. Hukuman menggunakan Hukum adat Dayak Kanayatn dengan membayar siam raga nyawa berupa siam jampa bertutup pahar dengan Uba'atn-uba'atnnya.
Dulu sebelum pertemuan tokoh adat Dayak di Tumbang Anoi tahun 1894, Hukumnya nyawa dibayar nyawa. Sejak pertemuan tokoh adat seperti yang dimaksud diatas hukumannya berubah dengan adat.
Siapa yang mengadakan hukum adat pati nyawa pada tanggal 29 Januari 2024 tersebut? Tentu saja Dewan Adat Dayak DKI Jakarta. Pengurus DAD DKI Jakarta yang mempertemukan baik keluarga Korban(Dayak) maupun keluarga pembunuh. Menetapkan hari, tempat serta besaran hukuman. Dengan adanya macah adat pati nyawa maka pihak keluarga besar korban menjadi tenang. Dari unsur adat telah terpenuhi. Tidak ada dendam dan sakit hati. Bukan karena nilai uangnya tetapi adatnya telah terpenuhi.
DAD di DKI Jakarta telah terbentuk sudah cukup lama. Mengingat sebaran suku bangsa Dayak di DKI Jakarta dan sekitarnya kurang lebih 20 ribu orang dari seluruh Kalimantan. Ada banyak yang sudah dilakukan oleh DAD DKI Jakarta untuk warga Dayak berkaitan dengan hukum adat.
Macah Adat Pati Nyawa ini dihadiri oleh perwakilan DAD DKI Jakarta(sekretaris DAD DKI Jakarta Lawadi Nusah,S.Pd. Timanggong Jailim, S.Pd dan kepala Kantor MADN Timotius Sipur MA ), perwakilan Bakormad (Yohanes Abay) , perwakilan Keluarga korban, perwakilan dari tersangka dan perwakilan dari Densus 88 serta perwakilan Warga Dayak yang mukim di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Dalam rangkaian acara Macah Adat Pati Nyawa dari kedua belah pihak baik keluarga Korban maupun keluarga tersangka berkesempatan untuk menyampaikan unek-uneknya. Mereka saling memaafkan dan mengampuni. Sebab tidak ada yang menginginkan untuk jadi korban dan menjadi tersangka. Semua sudah terjadi tinggal bagaimana menyikapi kehidupan ke depan tanpa ada yang terluka. Semua akhirnya ada muaranya. Diatas aturan bahkan hukum, maka kasih yang dikedepankan itulah manusia Dayak.
Hukum adat sudah terlaksana, namun hukum negara bagi pelaku tetap berjalan bahkan bagi pemilik senjata api. Hingga sekarang ini masih dalam persidangan. Apakah dimungkinkan hukum adat ini menjadi pertimbangan hakim dalam memutus? Tentu saja sangat mungkin. Menurut Jelani Christo SH,MH: " "Hukum adat yang sudah dilaksanakan sangat memungkinkan jadi bahan pertimbangan untuk memutuskan perkara. Mengingat Hukum adat macah pati Nyawa ini bukan main-main".