Empat Puluh Satu Tahun Berdoa, akhirnya Dipertemukan juga.
Hidupku ada dalam rencana Tuhan. Namaku Yulif Christian Tuan. Baru berusia satu minggu, mama yang melahirkanku dipanggil Tuhan. Entah karena larut dalam kesedihan atau karena panggilan untuk mengabdikan diri di tanah Borneo, ayah kandungku pun pergi meninggalkanku. Ayah ikut perekrutan sebagai tenaga guru ke pedalaman kalimantan Barat era tahun tujuh puluha. Mengabdikan diri untuk suku bangsa Dayak.
Aku dan beberapa saudaraku diurusi oleh kakak kandung ayahku. Dari urusan makan, pakaian, sekolah dan pendidikan budi pekerti. Aku hanya tahu ayahku ada di pedalaman Kalimantan Barat dari kedua orqng tua angkatku.
Hari-hari kulalui dengan penuh pergumulan. Untungnya kakak kandung ayah yang mengurusi kami orang baik. Mereka adalah orang tua angkatku yang luar biasa. Tidak membeda-bedakan kami. Aku diasuhnya dengan penuh kasih sayang. Namun kerinduan kepada ayah kandung pun begitu mendalam. Hanya doa yang bisa dipanjatkan bahwa suatu hari dapat bertatap muka. Dapat memeluk dan mencium ayah tercinta. Sekalipun tidak membesarkanku, rasa rinduku tak tertahankan.
Masa kanak-kanak, remaja hingga pemuda dapat kulewati dengan baik. Kuhabiskan di dusun Fatukolo, desa Sunu kecamatan Amatun Selatan, Kabupaten Timor tengah, NTT.
Hingga suatu saat aku harus melangkah keluar dari NTT. Keluar mengadu nasib. Mengadu keberuntungan hidup. Siapa tahu hidup lebih baik ditanah perantauan.
Jakarta adalah tempat tujuan. Pikirku tidak usah tanggung-tanggung. Kuakui tidak mudah hidup di tanah rantau. Untungnya sesama anak Timor saling peduli. Aku pernah sakit hingga muntah darah. Keadaan itu xapat kulalui. Hidup dari satu kontrakakan ke kontrakan lain. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Hingga akhirnya aku menemukan satu pekerjaan dengan pimpinan dan sesama karyawan yang saling membangun.
Satu orang atasanku yang begitu baik kerohaniannya. Atasanku ini teman curhat. Tahu pergumulanku terutama tentang kerinduan dengan ayah kandung yang puluhan tahun tidak berjumpa.
Pernah bertemu dengan orang Dayak, dan kuberitahu kepadanya bahwa ada ayahnya di pedalaman Kalbar sebagai guru. Mukim di daerah Bengkayang. Tetapi tidak tahu persisnya dimana. Orang Dayak tersebut mengajakku untuk pergi bersama ke sana dan mencari tahu didaerah mana sesungguhnya berada.
Mungkin belum waktunya Tuhan sehingga ajakan itu menguap begitu saja. Beberapa kali niat untuk pergi ke kalimantan Barat batal terus. Ada saja halangannya. Bahkan pernah membeli tiket tapi tidak jadi berangkat.
Kontak rutin pun semakin intens dengan ayah kandungku yang bernama Mikhael Tuan. Tanpa sepengatahuan ayahku aku diam-diam membeli tiket pesawat.
Aku turun di Bandara Supadio - Pontianak. Waktu tempuh hanya satu jam lebih dari bandara Soetta. Rute perjalanan sudah kudapatkan dari ayahku. Bahwa dari bandara Supadio menuju terminal Batu layang. Dari terminal Batu Layang, naik bus jurusan Bengkayang. Dari Bengkayang nanti akan dijemput.
Hari itu, ayahku tidak tahu kalau aku sudah di bandara Supadio. Dalam hati aku mau bikin kejutan. Diam-diam datang ke tempat ayahku mukim. Aku teledor saking senangnya saat berada di bandara Suoadio, aku berfoto ria di miniatur tugu katulistiwa. Aku upload langsung ke FB. Aku lupa kalau adikku yang ada di Kalbar telah berteman di FB. Aku pun di telp. Ada dimana gerangan. Aku tidak dapat lagi menyembunyikan keberadaanku. Adiku dengan mobil dinasnya siap menjemputku. Aku bilang tidak usah.
Setiba di terminal Batu Layang, aku mengisi kampung tengah sembari bertanya ke salah satu orang si sampingku untuk mobil ke arah Bangkayang. Selesai mengisi kampung tengah akiu bergegas menuju bus yang akan mengantarku ke Bengkayang.
Aku duduk di bangku paling depan, di samping supir. Duduk di depan sekaligus menikmati pemandangan sembari ngobrol dengan supir Bus. Pikirku jarak tempuh Batu Layang ke Bangkayang tidak terlalu jauh. Ternyata jarak tempuh cukup jauh. Kurang lebih empat jam.
Aku sempat bertanya ke supir bus lokasi desa Mentonyek. Aku pun diberitahu saat melintas. Alasanku bertanya karena salah satu warga dari Mentonyek inilah yang berkali-kali ngajak aku pulang bareng ke Kalimantan Barat. Namun tidak pernah terwujud. Akhirnya aku pergi sendiri untuk yang pertama kali. Pikirku tidak mau merepotkan orang lain. Dan punya pengalaman sendiri.
Setibanya di Bangkayang, aku sudah di tunggu. Aku tidak mengenali siapa yang menunggu. Turun dari bus aku dipeluk dari arah belakang. pelukannya begitu kuat. Badannya lebih tinggi dariku. Setelah sekian menit baru dilepasnya. Ternyata dia adalah adikku. Kami pun menuju Sungei Betung. Disinilah rupanya ayahku menghabiskan waktunya bersama keluarga barunya. Ayahku menikah dengan orang Dayak berbahasa Bakati'.
Setibanya di Sungai Betung, aku disambut oleh ayah kandungku, mama, keempat adik-adiku dan ponakan-ponakanku. Kami semua menangis, semua terharu. Empat puluh satu tahun baru kali ini merasakan pelukan ayahku.
Aku peluk ayahku erat-erat. Lama kami berpelukan dengan air mata membasahi pipi kami. Demikian juga dengan mama dan adik-adiku. Meneteskan air mata penuh dengan sukacita. Jika tanpa campur tangan Tuhan mustahil akan terjadi peristiwa seperti ini.
Tanpa terasa sudah lima kali aku bertandang ke Sungai Betung. Bahkan melalui perjumpaan itu ayahku, mama dan beberapa adikku sempat pulang kampung ke NTT. Yang mustahil bagi manusia tidak ada yang mustahil bagi Allah. Bayangkan empat puluh satu tahun berdoa supaya dapat berjumpa ayah di seberang lautan akhirnya dapat terwujud. Kini keluargaku di kalimantan semua dalam keadaan baik kecuali mama dari adik-adiku dan mamaku juga yang sudah berpulang setahun yang lalu.