Perjalanan ke Badui Dalam Penuh Keseruan
Tepatmya malam jumat, kesepakatan untuk berangkat menuju Badui Dalam sudah deal. Nada panggilan masuk di HP berbunyi. HP diangkat dan berita disana untuk bersiap diri. Mobil jemputan dari Tanjung Priok yang dikomandoi Timanggong DKI Jakarta yakni Jailim sudah meluncur. Demikian juga mobil dari daerah Cilengsi yang dikomandai oleh ketua CU ST yakni Salawin menyatakan hal yang sama. Dua buah mobil yang ditumpangi oleh sembilan penumpangnya bertemu di titik rez area Kunciran. Hari pun sudah beralih ke hari Jumat. Kordinasi pun dilakukan supaya keluar dipintu tol Rangkas Bitung. Dari Rangkas Bitung mobil terus mengarah menuju Badui luar secara beriringan.
Jalan yang dilalui mulai berkabut karena sudah memasuki dini hari mempersulit jarak pandang. Beberapa kali mobil yang ditumpangi tidak dapat menanjak. Mesin mobil mati diatas tanjakan. Membuat hati berdebar.
Akhirnya segala halangan dijalan dapat teratasi. Rombongan pun tiba di terminal Badui Dalam. Suasana masih sepi. Mendengar ada orang memasuki are Terminal yang merangkap pasar akhirnya seorang pemilik warung membuka warungnya. Kami memesan minuman dan beristirahat menunggu penjembutan dan menanti mentari pagi.
Setelah sang penjembut datang dan mentari pagi siap tampil , kami bergerak memuju pos dengan melewati jembatan yang terbuat dari bambu. Setibanya di pos, salah seorang dari rombongan mengisi buku tamu, kami pun mulai beriringan berjalan kaki menuju Badui Dalam. Menuju salah satu tokoh dengan panggilan Jaro ( pemimpinnya) yang menerima kami sekaligus merupakan tempat kami menginap dan beristirahat.
Berjalan kaki bukan hal yang mudah bagi beberapa orang dalam rombongan. Susah sudah pasti karena punya tantangan tersendiri. Diantara peserta yang berjalan kaki ada yang terpaksa menggunakan tongkat. Selain penulis yang memakai tongkat masih ada lagi yakni sang ketua FDKJ.
Disepanjang perjalanan kita disuguhkan dengan pemandangan yang sangat menarik. Ada rumah Badui yang sangat unik terdirri dari atap daun sagu, dengan kayu dan bambu tanpa menggunakan paku. Sistem potong,sambung dan rakit menunjukkan keariban lokal yang luar biasa.
Kami melewati dua buah jembatan berbahan bambu dan tali pengikatnya. Satu jembatan yang ditobang oleh sabatang kayu besar dengan kontruksi yang luar biasa. Kontruksi yang dibuat tidak kalah hebat dengan mereka yang bergelar insinyur dalam bidang kontruksi.
Rombongan juga bertemu dengan puluhan orang Badui Dalam di jalan dari anak kecil hingga orang dewasa. Laki- perempuan membawa buah "keranji' dibawa menuju tempat penampungan di Badui luar. Rombongan ini juga melihat kebun cakur yang ditanam disekitar halaman rumahnya. Pengrajin tenun. Ada juga kebun pohon sagu yang sangat terawat. Mereka memanen daun sagu yang sudah tua untuk dijadikan atap. Ada lesung tempat menumbuk padi. Dango menampung padi selesai dipanen.
Perkambungan Badui Dalam sangat menarik. Dibangun dengan keariban lokal. Mereka membebaskan diri dari kemajuan zaman. Mereka hidup tanpa listrik dan perlengkapan modern. Saat malam hari cahaya bulan, bintang, kunang-kunang dan bunyi burung hantu menambah eksotisme.
Rombongan yang datang ke Badui Dalam ini menikmati apa yang tidak didapatkan ditempat lain apalagi diperkotaan. Kelelahan karena jarak tempuh dan juga rasa takut terbayar dengan apa yang dilihat dan dirasa.
Mandi disungai, mencari ulat sagu dan memakan hidup-hidup ulat tersebut adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Demikian juga makan diatas daun pisang dengan menu ayam yang dimasak ne' Daniang dalam bambu. Minum di gelas yang terbuat dari batang bambu. Nuansa Badui Dalam sungguh membawa memori kita pada masa lalu. Kita terasa masih hidup di kampung halaman ,-kalimantan. Terutama era tahun "70 an.
Sangat disayangkan rombongan yang terdiri dari: Jailim, Leo, Yosef, Salawin, Anyan, David, Frans, Daniang dan penulis hanya menginap satu malam saja. Padahal ada banyak yang perlu digali dari kunjungan ini.
Tentu saja ada banyak alasan bertandang ke Badui Dalam. Yang jelas membuat perbandingan mencari kesamaan dan perbedaan antara suku Badui Dalam dengan suku Dayak. Dalam beberapa sisi sudah ada di dalam kepala saat berwawancara mengenai penamaan anak yang baru lahir, sunat, pernikahan, kematian, berladang dan menjaga hutan.
Saat datang penuh dengan perjuangan. Demikian juga saat pulangnya. Selain diguyur hujan,rombongan harus berhati -hati agar tidak terpeleset di jalan. Yang jelas setelah datang yang pertama ini perlu ada lanjutannya sehingga apa yang diinginkan dalam penelitian punya gambaran jelas dan utuh. Semoga ada kesempatan lagi pada masa mendatang. Yang jelas hutan mereka mazih terjaga. Mereka tidak menyerahkan hutannya kepada investor nakal. Penulis pikir Dayak perlu belajar kepada suku Badui khususnya salam menjaga hutan adat, mengolah hutan adat dan menjaga segala budaya yang ada.