Air Mata Sang Gembala- Melobi Hingga ke Batavia
Memasuki tahun ke empat Nugroho bersedia bergabung di salah satu sinode beraliran Kharismatik. Berkantor pusat di kota Surabaya. Istrinya tidak mendukung kalau Nugroho di tahbiskan jadi pendeta. Bagi istrinya pelayanan tidak harus menjadi pendeta apalagi mrnjadi seorang gembala sidang. Mengurus urusan rumah tangga saja sudah berat apalagi mengurus jemaat.
Saat mereka menginap di kawasan Mangga besar di salah satu Hotel bernuansa Belanda di ruang makan kembali Nugroho menjelaskan kepada istrinya betapa penting pentahbisan dirinya.
" Saya mohon dukungan doamu ma. Doa dan dukunganmu sangat penting. Jika Tuhan berkehendak bulan Agustus saya mengusulkan pentahbisan dan sekaligus pendewasaan jemaat kita" Demikian penjelasan Nugroho kapada Istrinya.
" Saya karena istrimu mengharapkan kamu tidak usah dulu ditahbiskan. Cukup jadi perintis saja. Serahkan kepada orang lain saja. Waktumu nanti habis di bisnis dan di gereja. Waktu untuk kami kapan?. Ingat pa dengan kawan papa. Sibuk dalam pelayanan anak-anaknya tidak menjadi kesaksian.
Ingat juga teman papa yang satunya lagi istrinya berselingkuh karena suaminya sibuk pelayanan. Aku tidak mau juga seperti yang sekarang lagi hangat di kota Surabaya ini. Papa sudah paham pendeta itu menjadi kaya raya karena jemaatnya . Jemaatny orang kaya-kaya. Aku tidak mau nantinya Papa mengeluh dilabeli jadi orang kaya karena pelayanan dijemaat yang kaya" Kata istrinya dengan menatap tajam Nugroho
" Iya ma semua sudah papa perhitungkan, mau gimana lagi kalau Tuhan sudah menghendaki papa pelayanan sebagai pendeta dan gembala.l" Kata Nugroho kepada istrinya.
" Pa bukan mama tidak mendukung. Mama minta papa berdoadoa lagi. Papa juga tidak tahu itu panggilan Tuhan atau emosi. Saya juga belum siap dipanggil sebagai istri gembala. Belum lagi anak-anak pa. Mereka juga akan menjadi sorotan banyak orang. Yang pelayanan Papa tetapi kami akan terbawa juga" Tegas istrinya.
Di meja makan dikawasan Mangga Besar bagaikan kursi panas bagi Nugroho.
Ia sengajak mengajak istrinya ke Jakarta selain ada urusan bisnis dengan rekannya yang di Glodok. Ia berharap istrinya akan berubah pikiran. Apalagi setelah dibelikan kalung emas di kawasan pasar Baru. Dan slayer berbahan sutra dari Belanda.
Saat meninggalkan Batavia dengan menggunakan kereta api, Nugroho mencoba sekali lagi bernegoisasi dengan istrinya yang duduk disebelahnya.
Sambil memegang tangan kiri istrinya Ia Berkata
" Ma seandainya saya tetap mengusulkan diri ditahbiskan, apakah mama tetap tidak mau mendukung papa?"
Istrinya memandangi dirinya lalu menjawab
" Saya ini istrimu, seperti apa dan bagaimana pun kamu adalah suamiku. Kalau akhirnya kamu ditahbiskan jangan sampai jemaat menuntut saya menjadi istri gembala yang baik bagi mereka. Mengurus keluarga saja sudah sulit. Lagi pula mengurus keluarga sama mulianya dengan mengurus jemaat. Saya tidak bisa langsung terjun mendampingi papi dalam banyak hal".
Nugroho tersenyum. Nugroho paham dengan pendirian istrinya yang tidak mudah digoyahkan. Sepanjang perjalanan Dari Batavia menuju Surabaya tidak ada lagi pembicaraan tentang pentahbisan.
Pembicaraan dialihkan dengan situasi Surabaya yang jauh lebih baik termasul dalam dunia bisnis. Bisnis Nugroho pun tidak hanya dibidang peti kemas tetapi juga merambah ke toko emas dan distributor petromak, dan lampu tempel.
(Bersambung)