Kepala Batu

"Pulanglah, untuk apa kau di kota kalau hanya berhura-hura. Tanah kita luas, kebun kita banyak. Mama dan Bapak sudah mulai menua" demikian  kata-kata di seberang sana sebelum  hilang seiring berpindahnya posisi. Maklum dipedalaman Kalimantan terkadang sinyal lenyap tiba-tiba. 

"Bagaimana respon anakmu itu saat dihubungi" kata suaminya Dirta menayakan setelah Bu Dirta sampai di rumah. Maklum untuk bertelpon mereka mencari tempat yang tinggi seperti diperbukitan belakang rumah. " sudah banyak pengorbanan untuknya hingga rumah saja kita tidak bisa bangun. Heran sudah kuliah di kota, tinggal di kota tapi cara berpikir kampungan" tambah suami Dirta sambil meneguk  kopi panas yang baru dibuatnya. 

" aku sudah panjang lebar berbicara tetapi saat aku minta dia pulang riba-tiba terputus" jawab Bu Dirta. 
" kuhubungi lagi tidak bisa, maka aku putuskan turun, aku berharap dia berpikir ulang untuk mencari kerja di Jakarta" sambung Bu Dirta.

" saya yakin tidak akan pulang, dia merasa sudah hebat di Jakarta , apalagi kata kawannya sudah menjadi team sukses salah satu calon presiden pilpres 2024" lanjut suami Bu Dirta dengan jidat berkerut.

Toni anak yang mereka harapkan meraih Sarjana di salah satu perguruan tinggi di Jakarta itu ternyata selama ini tidak lagi kuliah. Berhenti dipenghujung. Tinggal menyusun skripsi. Itupun tidak diberitahu kepada pihak keluarga. Sehingga setiap bulan diminta atau tidak, uang mengalir ke rekening Toni. Herannya Toni tidak merasa berdosa dan durhaka kepada orang tuanya.

Lima Tahun sejak kepergian Toni ke Jakarta, ayahnya mulai sakit-sakitan. Bukan karena faktor usia lebih memikirkan Toni anak kebanggaannya. Generasi penerusnya. Kebanggaan keluarga.

 Dulu ayah Toni hanya tamat SMA dan bekerja disebuah perusahan pengolahan kayu. Niatnya sangat besar untuk kuliah tetapi ketiadaan dana ia mengubur  niat itu. Dan bertekad dalam hati suatu saat nanti dimanapun anaknya mau kuliah ia harus mampu membiayainya. Benar saja ia termasuk juragan  di kampunya. Maka saat anaknya mau kuliah diluar pulau Borneo tanpa pertimbangan dimuluskan keinginan Toni. 

Ibu Dirta tidak kalah semangatnya mencari uang, setiap rupiah hasil penjualan jagung langsung di transfernya. Berharap makin cepat anaknya selesai kuliah makin baik. Rasa kangen kepada anak bujangnya itu tak tertahankan. 

Semua sudah memberi saran, semua memberi pertimbangan. Toni tidak bergeming juga. Ia tidak menyadari hidup ini penuh persaingan. Bersaing  dengan sesama anak bangsa dan sebentar lagi akan bersaing dengan kecerdasan buatan.

Baginya hidup ini harus dinikmati, dipuaskan mumpung masih muda. Kesuksesan hidup tidak harus lewat jalur kuliah. Lewat bekerja dan berelasi juga bisa apalagi berelasi dengan orang partai dan para politisi. Dijamin aman.

Delapan tahun kemudian. 
Toni dikabari bahwa mamanya sakit keras, ayahnya sudah lama terbaring ditempat tidur . Tanah sudah diambil oleh perusahan atas nama investasi yang dijamin negara. Mereka sebentar lagi akan direlokasi ditempat yang baru. 

Toni tidak bergeming sedikitpun. Jangankan ongkos untuk pulang.  Kontrakan saja dua bulan belum dibayar. Motor ditarik oleh dealer . Anak ketiga sebentar lagi akan lahir. Mau pinjam sudah tidak berani karena pinjaman setahun lalu belum dilunasi. Sementara ada isu baru akan ada pengurangan karyawan besar-besaran. Unitnya di clening service akan digantikan oleh robot yang kerjanya cepat, bersih dan murah perawatannya.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url