Matinya Kepakaran Menjelang Pesta Demokrasi Indonesia 2024 & Ingat Kembali Pancasila
Matinya Kepakaran Menjelang Pesta Demokrasi Indonesia 2024 dan Ingat Kembali Pancasila
Dr. C. Fetrus, S.H., M.H
(Akademisi dan Praktisi Hukum)
Dr. C. Aturkian Laia, S.H., M.H., CFHA., CHA., CEFT
(Akademisi dan Praktisi Hukum)
Agustinus Tamtama Putra, S.Fil., M.Fil
(Penulis)
Pada tahun 2024 ini Indonesia mengadakan pesta demokrasi pemilu yang mengajak seluruh masyarakat untuk dapat memilih siapa yang layak untuk dapat memajukan kesejahteraan dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, serta menjadikan negara Indonesia menjadi negara maju. Mendekati pemilu para pakar dari berbagai bidang ilmu memberikan pandangan dan menjelaskan ke akar-akarnya tentang siapa yang paling sesuai menjadi pemimpin di negara yang besar ini, baik itu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maupun dengan pemilihan wakil rakyat di legislatif. Pengaruh dari penjelasan para pakar (tidak saya sebutkan nama-nama para pakar) menghipnotis serta mendoktrin para masyarakat yang mendengarkan retorika yang halus dan lembut, sesekali tajam dari para pakar, dan tidak mau ketinggalan kepakaran dari para calon pemimpin yang berjuang untuk meraih kemenangan dan duduk di bangku yang empuk dan di dalam ruangan yang ber AC. Keunikan yang terjadi dari para pakar yaitu cara beretorika di media dan di televisi dengan menggunakan penilaian secara subjektif, tidak lagi dengan objektif, di karenakan di pengaruhi oleh pengaruh yang lain seperti ideologi yang dianut oleh para pakar, agama serta pengaruh yang lain.
Membahas tentang "matinya kepakaran" mengingatkan kita pada penulisnya yang bernama Tom Nichols. Kembali pada cara berpikir para pakar serta menjelaskan visi misi dari para calon pemimpin sangat tersistem serta menggunakan bahasa yang sangat tinggi dan susah untuk di mengerti, sehingga orang awam sulit untuk membedakan mana yang mengatakan kebenaran dan mana yang mengatakan kebohongan (postruth). Dekat demokrasi pemilu di Indonesia 2024 sudah menjadi tradisi para pakar akan keluar dari gua dan bangun dari tempat tidur untuk memberikan penjelasan sesuai dengan kepakaran yang di miliki, meskipun terkadang yang tidak memiliki kemampuan dalam memberikan penjelasan tetapi memaksakan diri untuk memberikan penjelasan untuk memenangkan calon pemimpin yang di bela mati-matian. Matinya kepakaran karena sudah tidak mengedepankan seperti yang di sampaikan oleh Francis Bacon yaitu logika, hipotesa, dan verifikasi. Kiranya masyarakat tidak semudah mempercayai apa yang di sampaikan oleh para pakar dalam hal apapun, karena sudah tidak objektif lagi namun lebih pada pandangan subjektif. Rakyat harus pandai dalam memilih pemimpin, tidak memilih karena melihat fisiknya bagus, retorikanya keren dan karena pengaruh-pengaruh keyakinan. Adolf Hitler mengatakan "saya senang memimpin kepada rakyat yang tidak mau berpikir" artinya seorang pemimpin akan senang menggunakan kekuasaan yang ada di tangannya untuk melakukan sesuka hatinya baik itu kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Negara sesungguhnya bertanggungjawab menjamin kesejahteraan rakyatnya. Gagasan ini penting sebab
terkait erat dengan etika publik dan negara di era modern kontemporer. Tentu ide tentang
kesejahteraan rakyat ini bukan hal baru dan bisa dilacak pula dalam ide-ide sosialisme Karl Marx, konsep
negara demokrasi John Locke dan Montesquieu, hingga jauh ke gagasan polis yang baik dan ideal jaman
Yunani kuno dalam Socrates, Plato dan Aristoteles. Kesejahteraan rakyat memang merupakan impian
semua orang di segala jaman dan negara sebagai presentasi kedaulatan rakyat di era modern menjamin
itu semua.
Untuk konteks Indonesia, kita memiliki Pancasila sebagai Philosophische Grondslag (dasar
filosofis). Di dalamnya tertuang jelas gagasan tentang negara yang menjamin kesejahteraan rakyatnya,
yaitu pada sila kelima yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Akan tetapi sebelum berbicara tentang kesejahteraan sosial, pertanyaannya adalah “Apa itu Pancasila?” Disusul pertanyaan lanjutannya, “Quo vadis Pancasila berhadapan dengan ideologi modern dan globalisasi?” Ketika mendengar pertanyaan ini, timbul keresahan bahwa seakan-akan Pancasila sudah jauh dari telinga dan hati kita orang Indonesia. Gagasan Soekarno Bapa Pendiri kita tentang Pancasila sebagai Philosophische Grondslag itu kiranya perlu terus menerus didengungkan di telinga, batin dan hati kita orang Indonesia. Akankah Pancasila sudah di ambang kelesuannya melihat orangorang Indonesia saat ini? Pancasila memang menjadi dasar filosofis orang Indonesia. Dikatakan oleh Soekarno, itulah kristalisasi jiwa bangsa. Berhadapan dengan setidaknya dua ideologi besar dunia yang saling bertentangan kala itu, Pancasila tampil sebagai jalan tengah di mana Indonesia seperti sekarang ini berdiri. Keanekaragaman yang diistilahkan dengan “bhineka” dari banyak manusia di ribuan pulau kala itu, diikat dan disatukan—“tunggal ika”—dalam Pancasila. Indonesia adalah Indonesia, bukan NATO bukan Pakta Warsawa. Indonesia bukan kapitalis-kanan, bukan sosialis-kiri. Kendati filsafat barat menjadi ibarat terang lampu yang menyinari sehingga nilai-nilai luhur itu terlihat, Pancasila tetap lahir dari rahim suku-suku di Indonesia dan menjadi jalan tengah yang kuat mempersatukan bangsa yang beranekaragam. Maka rasa bangga akan Pancasila sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi" adalah identitas Indonesia.
Kepakaran semestinya selalu dikaitkan dengan jiwa bangsa, bukan oportunis.