Mardiwiyono, peserta Transmigarasi Yang Tidak Menyerah di daerah Arga Makmur
Mendampingi Bapak mertua di rumah sakit Charitas bertemu pasien yang di rawat dalam kamar yang sama. Awalnya kikuk karena tidak ada yang di kenal. Seiring waktu terjadi kedekatan berawal saling bertanya tentang penyakit. Di Kamar F.8 ada empat tempat tidur. Terisi 3. Satu ditempati Bapak mertua yang menjalani operasi di pergelangan tangannya. Tempat tidur yang satu diisi oleh pasien yang terkena asam lambung. Dan yang satunya diisi oleh seseorang yang sudah sepuh. Umurnya tidak muda lagi 78 tahun. Dirawat di Charitas Hospital karena kadar gulanya tinggi hingga menyentuh angka 500. Awal ketemu terlihat sangat pendiam. Dibalik diamnya menyimpan banyak ceritera yang menginspirasi.
Namanya Mardiwijono. Asal Gunung Kidul-Yogyakarta. Mereka ada 7 orang bersaudara. Tentu saja jika tetap berada di satu are dapat dibayangkan seperti apa ke depan keturunannya. Tidak akan memiliki masa depan yang baik. Oleh Ibunya anak- anaknya di arahkan untuk mau ikut transmigrasi ke Sumatera khususnya ke Bengkulu Utara. Lima anaknya termasuk Mardiwijono ikut berangkat menjadi peserta transmigrasi.
Bukan hal yang mudah karena mereka di tempatkan ditempat yang wilayahnya masih hutan. Hujannya harus dibuka dengan bergotong-royong sehingga menjadi lahan pertanian. Dari 150 KK yang berangkat, yang tetap bertahan kurang lebih 50 KK.
Kesabaran dan daya juang itulah modal utama yang dimiliki oleh para peserta transmigrasi termasuk yang ada pada diri Mardiwijono.
Semua biaya transmigrasi dari keberangkatan hingga delapan bulan di lokasi transmigran ditanggung oleh pemerintah. Setelahnya ditanggung sendiri. Maka kelaparan tidak luput menghampiri keluarga Mardiwiyono. Menyerah? Tidak. Demi mendapatkan makanan, berjalan kaki pun dilakukan. Bayangkan jarak yang begitu jauh dari Arga Makmur ke kota Bengkulu pun ditempuh pada musim paceklik tiba. Belum.lagi tantangan lainnya. Kini betapa bahagianya kakek dari 3 anak dan 8 cucu ini melihat masa depan keturunannya dan perkembangan Arga Makmur yang tidak lagi seperti di eranya.
Mardiwiyono tidak hanya seorang pejuang dan petarung bagi keluarga dan keturunannya, melainkan juga bagi warga yang berada di Jln.Sultan Syahril-Purwodadi-Arga Makmur- Bengkuki Utara.
Pikirannya jauh ke depan. Ia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan keluarga . Tetapi memikirkan masyarakat luar juga. Pemimpin itu seharusnya demikian. Tetapi kenyataannya tidak. Lihatlah pemimpin yang sekarang ini selalu berfokus kepada diri dan keluarganya.
Mardiwiyono tidak muda lagi benar-benar sepuh. Jika suatu saat berpulang paling tidak ada tiga peninggalan yang diwariskan kepada warga ditempatnya bermukim.
Sejak terpilih menjadi RT yang ada dalam benaknya dan harus diperjuangkan adalah Jalan, pemakaman dan tempat ibadah. Awalnya jalan yang ada dua meter saja. Lewat kerja kerasnya bersama warga lebarnya menjadi lima meter. Bersama warga menyediakan tempat pemakaman dan tempat pemakamanpun sudah tersedia. Tempat ibadah pun demikian hanya sebuah mushola saja. Lewat kegigihan dan didukung warga berdirilah sekarang ini masjid nan megah bernama Masjid Al-Hidayah.
Kejujuran, kerja keras dan visi yang jelas sekalipun sekelas RT , Mardiwiyono dipercaya menjadi RT selama 36 Tahun dan meninggalkan jejak yang sulit dihapus.
Kini kamar yang ditempati mertua sebentar lagi akan menjadi kamar kosong karena mereka bertiga yang dirawat di kamar F8 dinyatakan boleh pulang. Salut untuk dokter dan perawat Charitas Hospital yang telah memberikan pelayanan terbaik sesuai Visi dan misinya.
Sehat selalu untuk Mardiwiyono yang telah menginspirasi. Ternyata dikamar rawat ini ada dua orang hebat yang memberikan inspirasi satu I Gusti Nyoman Kuta Samuel yang beritanya telah diturunkan denga tema menyiasati mahalnya harga pupuk dengan memelihara sapi, dan satunya Mardiwiyono seorang mantan RT yang menorehkan jasa yg tidak sedikit bagi warga dan keluarganya.