Air Mata Sang Gembala-Situasi Semakin Sulit
Nugroho begitu cemas melihat kenyataan yang ada. Selain dirinya dimata-matai, jemaat yang dirintisnya bubar.
Kehidupan ekonomi pun tidak mudah. Semua serba terbatas. Tadinya Nugroho berbagi dengan siapa saja yang kekurangan kini ia harus berhati-hati. Semua harus dihemat. Yang bukan kebutuhan ditunda bahkan dihapus dari daftar belanja. Tidak ada yang tahu berapa lama situasi yang serba tidak menentu ini terjadi.
Saat duduk-duduk di warung kopi tempat kumpulan perantau Tionghoa waktunya juga tidak terlalu lama. Tongkrongan yang terbatas begitu bermakna. Banyak informasi yang didapatkan.
" Nugroho sejak bangsa Jepang berkuasa di Jawa ini, mereka berusaha mengambil hati orang pribumi. Mereka mengajarkan bahasa Jepang, lagu-lagu berbahasa Jepang, kawan kita di Gubeng begitu bersemangat. Bahkan di Batavia, di Semarang sudah dilatih seperti tentara" Kata Tomy membuka pembicaraan.
" Mungkin itu taktik Jepang mencari simpati. Mereka juga tidak mudah untuk menguasai dunia dan hindia belanda. Sekutu Belanda tidak akan diam. Tapi kita tidak tahu seperti apa ke depan yang penting kita tetap berdoa. Tuhan yang berotoritas penuh " Tanggap Nugroho kepada Tomy.
" Tapi kamu selaku orang Kristen dan Tionghoa tidak mudah. Kamu harus jaga diri dan berhati-hati. Jepang tetap Jepang pasti ada maksud-maksud tertentu. Kalau boleh jangan berinteraksi dengan pribumi. Nanti kamu dituduh lebih jauh. Kamu sudah merasakan tempo hari ada dalam tahanan jepang" Imbuh Tomy sambil berdiri dan meninggalkan Nugroho.
Nugroho tinggal sendiri. Ia membaca koran berbahasa mandarin. Itupun koran bulan lalu. Membahas situasi asia dan Hindia belanda. Dimana pribumi tetap bersemangat menggelorakan persatuan terutama di kalangan pondok-pondok pesantren berbasis NU.
Nugroho meneguk kopi terakhir di gelas kaleng. Orang silih berganti dan tidak berlama-lama. Tidak seperti sebelum Jepang datang. Semua masih bisa terkendali. Termasuk dunia bisnis.
Ia mendengar dari pemilik warung kopi semua dikontrol oleh Jepang. Tidak sedikit di daerah-daerah orang makan gaplek, ybi dan nasi jagung. Untuk mendapatkan garam saja harus didata. Apalagi semua perkebunan dan jalan, rel kereta dan pelabuhan semua untuk kepentingan Jepang. Itu semua menambah semakin sulitnya keadaan. Apalagi di daerah perkotaan seperti Surabaya tidaklah mudah.
Nugroho pun keluar dari warung kopi. Biasanya ia jalan kaki menuju rumah. Seminggu ini memilih naik becak. Ia berpikir bahwa tukang becak berharap dari kayuhannya dapat uang untuk membeli beras. Sejak jepang berkuasa di Surabaya pengayuhnya orang-orang yang berumur. Yang muda dan kekar direkrut menjadi tentara dan dipekerjakan di perkebunan dan lain sebagainya. Dari kayuhan becak itu Nugroho membayangkan banyak nyawa yang dipertaruhkan. Saat ia membayar selalu diberinya lebih. Tidak jarang para pengayuh becak berebut untuk mengantar Nugroho pulang atau pergi.
Ia pun mendapat kabar dari pengayuh becak tidak jarang mereka tidak makan. Berhemat untuk keluarganya di kampung. Tidur di emperen toko. Ternyata beberapa pengayuh becak itu didoakan dan dihiburnya.
Nugrobo dijuluki "bos baik" Oleh tukang becak dan tukang sampah ditempat ia bermukim. Bahkan saat ia ditahan oleh Jepang beberapa waktu yang lalu ada yang mengkuatirkan dirinya.
Ternyata Nugroho baru menyadari bahwa dirinya diperhatikan orang disekitarnya. Bahkan kehadirannya dinanti-nantikan.
(Bersambung)