Air Mata Sang Gembala- Memasuki Masa Penjajahan Jepang
Semua berjalan sebagaimana seharusnya. Namun berita yang bertebaran bahwa bangsa Jepang tidak lama lagi akan datang ke Nusantara tinggal menghitung hari. Tidak saja Belanda yang resah, semua merasakannya termasuk Nugroho.
Ia memutuskan supaya jemaat mengambil waktu untuk berdoa puasa. Bahkan setiap dua malam sekali ada doa di tempat mereka beribadah. Hari-hari yang tidak mudah akan terjadi. Bagi Nugroho semua tetap dalam kendalinya Tuhan. Dari rekan bisnisnya ia mendapat kabar bahwa bangsa Jepang akan bersahabat dengan pribumi melawan penjajah Belanda. Tapi bagaimana dengan yang beragama Kristen? Tidak ada yang menjamin
Tepat hari Sabtu berita di Radio menyatakan kapal perang jepang sudah mendarat di pelabuhan tanjung perak. Pesawat terbang pun menderu di udara Surabaya dengan menyebarkan lembaran kertas akan adanya peralihan kekuasaan. Pantas saja orang Belanda pergi secara bergerombol beserta anak -istrinya entah kemana dalam beberapa hari ini.
Bahkan di Batavia ada pendeta yang dibunuh. Berita ini sangat menakutkan.
Saat selesai khotbah khususnya di pengumuman, Nugroho yang mengambil alih. Ia pun menyampaikan pengumuman kepada seluruh jemaat.
" Seluruh sidang jemaat, hari-hari ke depan tidak mudah. Kita tidak tahu seperti apa kehidupan yang akan kita jalani. Masih tetap bersama kah kita. Masih hidupkah kita. Tidak ada yang tahu. Selama situasi memungkinkan kita tetap akan beribadah ditempat ini. Apapun yang terjadi saya akan tetap disini. Untuk itu mari kita saling mendoakan. Kita saling berbagi kabar. Dan kita percaya Tuhan Beserta kita". Demikian pengumuman yang disampaikan Nugroho.
Tiga Minggu kemudian tempat Nugroho pelayanan ditutup. Beberapa jemaatnya direkrut oleh Jepang menjadi tentaranya. Beberapa orang dibawa entah kemana untuk dijadikan pekerja Romusha. Nugraha sendiri mendekam dalam penjara. Ia dicurigai sebagai mata-mata Belanda. Namun tuduhan itu tidak terbukti. Berbulan-bulan lamanya ia berada dalam tahan. Beruntungnya ia tidak di eksekusi.
Istri dan anaknya untuk sementara mengungsi jauh diluar surabaya. Mengungsi mengikuti majelis gereja. Usahanya pun di peti kemas terhenti.
Masyarakat terbelah. Ada yang pro Jepang ada yang tidak. Makanan dan keperluan lain mulai langka dipasaran.
Setelah beberapa bulan Nugroho dilepas. Ia tidak bisa kembali ke kantor dan ke tempat ibadah. Prioritas utama adalah mencari keberadaan anak dan istri serta jemaat yang dilayani.
Untuk makan sehari-hari ia datang ke kumpulan Tionghua perantauan. Lima bulan kemudian ia dapat berkumpul kembali dengan anak dan istrinya. Mereka pun kembali ke Surabaya. Kembali ke rumahnya. Suana memang membaik tetapi tetap dalam pengawasan Jepang.