Air Mata Sang Gembala- Pilihan Sulit

Nugroho tiba di Surabaya.  Ia langsung menuju Rumahnya. Ternyata rumahnya tidak ada penghuninya. Penyewa rumah kembali ke Semarang.  

Penyewa itu tidak tahunya seorang aktifis pro kemerdekaan. Dari dalam rumah Nugroho menemukan ada dokumen yang tertinggal bahwa  pemuda dan Rakyat Surabaya siap mengangkat senjata jika Belanda nantinya kembali ke Surabaya setelah Jepang angkat kaki. Kesadaran untuk merdeka ternyata semakin jelas. 

Nugroho berdoa apa lagi yang akan terjadi tahun-tahun mendatang. Setelah membaca dokumen tersebut, ia  Ikut angkat senjata atau melarikan diri ke Batu. 

Jika angkat senjata bagaimana dengan nasib istri dan anaknya jika ia tertembak. Tetapi jika ia tetap di Batu tidak berbuat apa-apa dimana jiwa Nasionalismenya. Di Kalangan Tionghoa pun terpecah. Ada yang memutuskan ikut berjuang yang lainnya tidak mau ikut-ikutan. Cari aman.

Nugroho pun kembali ke rumah tempat penitipan kunci. Disana rupanya sudah berkumpul beberapa kaum nasionalis. Mereka berdiskusi bagaimana menggalang masa melakukan perlawanan sekiranya Belanda datang. Semua harus dilibatkan dan terlibat tanpa terkecuali dengan Nugroho yang masih fasih berbahasa Mandarin.

Saat Nugroho memasuki ruang tamu semua mata memandang kearahnya. Nhgroho tenang dan menyerahkan kunci kepada pemilik rumah.

" Mas tidak usah buru-buru. Mari duduk dulu sebentar. Ada yang mau kami bicarakan sebentar" Pinta yang punya rumah.

Nugroho pun menyalami satu-persatu. Semua ada lima orang. Ia duduk dekat pemilik penitipan kunci.

" Mas kami minta berjuang bersama kami. Mas tidak usah angkat senjata, mas berjuang menggalang dana mendukung perjuangan ini untuk membeli makanan, obat-obatan dan juga amunisi. Kami tidak memaksa paling penting jika tidak bersedia harap pertemuan ini tidak bocor kepada yang lain" Lanjut pemilik rumah. 

Ternyata orang yang dititipkan kunci ini bukan sembarangan orang. Dialah salah satu orang yang mebolisasi penduduk Surabaya untuk menyambut tentara Belanda dengan senjata. Ia mengenal baik dengan Soekarno dan beberapa tokoh agama Islam di Surabaya. 

" Saya tidak mengatakan iya dan tidak juga mengatakan tidak atas tawaran dari saudara-saudara semua.  Saya harus berdiskusi dengan keluarga terutama dengan istri saya. Beri waktu kepada saya untuk memutuskan ya atau tidaknya" Jawab Nugroho. 

Ternyata dua dari lima orang yang  ada di ruang tamu itu menunjukkan respon kurang bersahabat.  Tapi Nugroho bersikap tenang saja. Bagi Nugroho hal semacam ini biasa saja. Dalam hatinya ia harus berdoa lebih dulu kepada Tuhan. Apa yang Tuhan kehendaki atau tidak nantinya. 

Memang ini tidak mudah. Pilihan yang serba sulit. Bagi Nugroho perkataan adalah potret diri.

(Bersambung)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url